Rabu, 12 Januari 2011

Reinhold Messner Sang Legenda Gunung




 Dunia punya legenda pendaki gunung yang tersohor dan teramat terkenal di kalangan pendaki gunung sedunia.  Namanya Reinhold Messner, pria kelahiran tahun 1944, setahun sebelum Indonesia merdeka, dan mendaki gunung di usia teramat kecil bahkan bayi bersama ayahnya saat dia berusia 4 tahun! Dan pada saat usia 25 tahun dia mendaki Nanga Parbat di Himalaya bersama kakaknya Gunther Messner. 

Nanga Parbat berketinggian 8000 mdpl dan hebatnya mereka mendaki tanpa tabung oksigen. yang menyedihkan, Gunther sang kakak meninggal dalam pendakian tersebut terkena longsoran es. Usaha pencarian Reinhold Messner guna menyelamatkan kakaknya berasa sia - sia sampai dia mengalami kehilangan enam jari kakinya karena dingin cuaca. 

Dan hebatnya walaupun demikian, kaki luka dan kakaknya hilang, dia tetap mampu sampai di puncak Nanga Parbat dan tanpa tabung oksigen yang memang di perlukan guna sebagai cadangan pernafasan, karena puncak setinggi itu kadar udara memang menipis dan menimbulkan kurangnya asupan oksigen kedalam paru - paru. 

Bagi Messner itu adalah prestasi luar biasa, dan dialah yang mampu sebagai orang pertama yang mendaki 14 puncak tertinggi di atas 8000 mdpl, tanpa oksigen. Karena di tinggi tadi orang akan mati tanpa oksigen tambahan atau paling tidak hanya akan mampu bertahan hidup selama beberapa jam tanpa tabung oksigen.
Meskipun Messner telah menjadi terkenal untuk pendakian tanpa oksigen tambahan yang dibutuhkan untuk otak manusia agar berfungsi dengan baik pada ketinggian ekstrim, keputusannya untuk mendaki dengan cara ini bukanlah hasil dari keputusan yang disengaja. 

Ia mulai bermimpi menjadi orang pertama mendaki Everest wajah barat daya, dan mendaki Everest tanpa tabung oksigen bersama Peter Habeler, rekan atau mitra pendakiannya pada tahun 1978. Karena pada waktu itu Habeler terkena sakit karena keracunan makanan, Habeler tetap memakai tabung oksigen untuk pendakian ke Everest, sedangkan Reinhold tetap tak mau memakainya.

Walaupun saat itu harus menghadapi bahaya tanpa oksigen dengan mengalami kekurangan tidur karena udara tipis, pusing dan penglihatan menjadi ganda. Bahkan di ketinggian 8000 mdpl masing - masing tak kan bisa berkomunikasi lewat kata - kata, karena demi menghemat udara yang sangat tipis hingga komunikasi lewat tangan. Jadi dalam keadaan seperti itu, pendaki gunung juga mesti menghemat nafas juga tenaga, dengan cara, setiap beberapa langkah berhenti dan berbaring sambil mengatur nafas.

Itulah Reinhold Messner sang legenda gunung. Dan pencapaian lain Messner di gunung K2, Gunung Aconcagua . Gasherbrum 2 , Broad Peak, dll masih banyak lagi yang di daki tanpa bantuan tabung oksigen. Bagi Messner, mendaki gunung adalah bagaimana cara bisa menghadapi bahaya dan menjadi kuat di alam bebas, itulah cara menguji diri dengan kemampuan sendiri.

Itulah sedikit tentang sang legenda gunung Reinhold Messner yang bisa menjadi bahan contoh dalam berkegiatan dan menjadi simbol ketangguhan, tetapi sebaiknya jangan di coba metode pendakiannya yang tanpa bantuan tabung oksigen di gunung tinggi bersalju, karena itu butuh usaha dan latihan yang seimbang. Usahakan selamat dan tanpa meninggalkan kesedihan dalam pendakian gunung di manapun. ***
Sumber : Group Facebook Kedaipetualang.com

Sabtu, 08 Januari 2011

Kepada Alam dan Pencipta-Nya


Pendaki Gunung Sahabat alam Sejati
Jaketmu penuh lambang..  lambang kegagahan
Memprolamirkan dirimu pencinta alam
Sementara maknanya belum kau miliki

Ketika aku daki dari gunung ke gunung
Di sana kutemui kejanggalan makna,
Banyak pepohonan merintih kepedihan
Dikuliti pisaumu yang tak pernah diam

Batu-batu cadas merintih kesakitan,
ditikam belatimu yang pernah  terayak
Hanya untuk mengumumkan pada khalayak,
bahwa disana ada kibar benderamu,

Oh .. alam korban keangkuhan
oh...  alam korban keangkuhan,
Maaf kan mereka, yang tak mau  mengerti arti kehidupan

By : Ritta Ruby Hartland 
Lagu pendaki gunung karya Ritta Ruby Hartland, yang isinya penuh makna gugatan bagi para pendaki gunung dan siapa pun mengaku sebagai pencinta alam, menarik untuk diresapi.

 
Kami mencoba melakukan riset tentang sosok Ritta Rubby Hartland tapi hanya Wikipedia yang mengulas singkat   perempuan kelahiran 13 April 1960 ini. Ia adalah seorang penyanyi Indonesia yang tekenal di era 80-an. Suara merdunya yang banyak berkisah tentang alam, humanisme dan cinta masih kita nikmati di youtube .
 
Berikut ini beberapa karya Ritta Rubby:
  • Elegi Sebuah Permintaan (1980), Musica Studio's
  • Kepada Alam dan Pencintanya (1981), Musica Studio's
  • Nyanyian Sawah (1982), Musica Studio's
  • Suara Kecil dari Panti Asuhan (1983), Musica Studio's
  • Bulu Garuda (menggunakan nama Ritta Rubby Adiwidjaja, 1984), Musica Studio's
  • Wajib Belajar (menggunakan nama Ritta Rubby Adiwidjaja, 1985), Musica Studio's
  • Bicara Soal Cinta (menggunakan nama Ritta Rubby Adiwidjaja, 1985), Musica Studio's
  • Suka Sama Suka (menggunakan nama Ritta Rubby Adiwidjaja, 1986), Musica Studio's
  • Mama Ayo Menyanyi (menggunakan nama Ritta Rubby Adiwidjaja, 1987), Bali Record
  • Nyanyian Koran (menggunakan nama Ritta Rubby Adiwidjaja, 1994), Harpa Record

Jumat, 17 Desember 2010

Mengenang Kembali Sosok Soe Hok Gie

Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.
Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin . Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.

Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).

Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.

Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Catatan Seorang Demonstran

Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).

Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.

Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.

John Maxwell menulis biografi Soe Hok Gie dengan judul Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997).

Pada tahun 2005, catatan hariannya berjudul Catatan Seorang Demonstran menjadi dasar bagi film yang disutradarai Riri Riza, Gie, dengan Nicholas Saputra berperan sebagai Hok Gie.

Sumber : http://www.facebook.com/soehokgie

Minggu, 12 Desember 2010

Petualang Sejati

Apakah yang anda dapatkan selama ini?
Ketika anda mendaki gunung-gunung,bertualang ke hutan dan tempat terpencil.
Apakah anda pernah merasakan perasaan sedih ketika anda meyadari keberadaan anda sebagai mahluk yang kecil dan tidak berarti apa-apa dibanding semua itu?

Pernahkan ketika anda berada di gunung anda merenung tentang semuanya? Pernahkah anda menangis ketika melihat langit biru,lautan yang luas, gunung-gunung, awan yang berarak, hutan, pepohonan,air yang mengalir di bebatuan,kabut yang menutupi jurang dan lembah.

Pernahkan anda menangis ketika mendengar suara nyanyian burung-burung, suara gemericik air, suara angin yang berhembus diantara pepohonan, suara ombak, suara seranggga hutan dimalam hari ketika kegelapan dan kesunyian mulai menyelimuti alam. Apakah yang anda rasakan dan pikirkan saat itu.
Apakah anda pernah menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih Besar dan Hebat dibelakang semua itu? Yang Membuat dan Mengatur semua itu. Siapakah dibelakang semua itu?

Pernahkan anda bersedih ketika melihat sampah-sampah plastik bertebaran di gunung dan hutan, hutan-hutan yang di hancurkan, binatang2 yang diburu, sungai2 yang tercemar oleh limbah.

Apakah anda sudah menemukan apa yang anda cari selama ini dengan pergi ke gunung, hutan atau tempat terpencil? Apakah semua perjalanan selama ini bisa membuat anda lebih Mendekatkan diri kepada Zat yang Menciptakan semua itu dan menyadarkan diri anda yang tidak berarti apa-apa atau anda hanya ingin di puji orang atau hanya ingin mencari kebanggaan atau malah makin menjauhkan anda dariNya.

Apakah anda sudah menjadi lebih bijaksana dalam hidup anda?Banyak orang yang dengan bangganya menyebut dirinya  pencinta alam, petualang, pendaki gunung, tetapi mereka tidak mendapatkan apa2 dari perjalanannya selain hanya tubuh yang lelah dan pakaian kotor, bahkan banyak dari mereka yang menjadi bagian dari Perusak Alam. "ALLAH menciptakan langit dan bumi dan seluruh isinya alam ini, agar kita selalu bersyukur dan beribadah kepadanya".


Alam ini diciptakan untuk dipelihara dan dijaga kelestariannya.

Gunung, pohon, daun-daun, bunga-bunga, air, angin, batu-batuan, rerumputan, bahkan ulat, semut dan semua hewan yang ada di darat dan di laut semuanya bersyukur kepada Allah. Apakah kita juga seperti mereka? Bukankah kita ini manusia yang katanya mahluk yang berakal dan lebih mulia dari mahluk yang lain. Kalau semua itu tidak pernah anda rasakan dan pikirkan, Jadi apa tujuan anda selama ini?Apa yang anda dapatkan selama ini?

Banyak orang yg ketika muda begitu bersemangat bertualang tetapi ketika lulus sekolah,bekerja dan mereka berkeluarga, menikah dan punya anak mereka benar-benar berhenti, seakan melupakan semuannya,mereka sibuk dengan segala urusan, sehingga melupakan gunung,hutan dan alam.

kita lihat para penjelajah dan petualang di negri orang sampai tua mereka tetap bertualang, bahkan ada yang sudah berumur 70 tahun masih mendaki gunung himalaya,apakah kita bisa seperti mereka? Kebanyakan dikita hanya latah dan ikut-ikutan saja, mereka menjadi pendaki gunung hanya untuk gagah-gagahan saja,sehingga mereka tidak mendapatkan apa-apa dalam perjalanannya.

Jadikanlah apa yang anda jalani selama ini bukan hanya sebagai keisengan atau hobby semata tapi jadikanlah menjadi jalan untuk lebih mendekatkan diri kepadaNya dan menjadi Jalan Hidup anda.Semoga  (soe_hok_gie@yahoogroups.com)

Rabu, 08 Desember 2010

komunitas Petualang Indonesia

oleh :  Sispala Kampast Nepal.

Sedikit sekali orang yang bisa memahami keadaan seseorang atau keadaan sekitarnya, jika ia tidak terjun langsung atau mengalami apa yang dirasakan seseorang dalam kehidupannya.
Pencinta Alam atau biasa disebut PA, itulah yang pertama kali orang katakan saat melihat sekelompok orang – orang ini. Dengan ransel serat beban, topi rimba, baju lapangan, dan sepatu gunung yang dekil bercampur lumpur, membuat mereka kelihatan gagah.

Hanya sebagian saja yang menatap mereka dengan mata berbinar menyiratkan kekaguman, sementara mayoritas lainnya lebih banyak menyumbangkan cibiran, bingung, malah bukan mustahil kata sinis yang keluar dari mulut mereka, sambil berkata dalam hatinya, “Ngapain cape – cape naik Gunung. Nyampe ke puncak, turun lagi…mana di sana dingin lagi, hi…!!!!!!!”

Tapi tengoklah ketika mereka memberanikan diri bersatu dengan alam dan dididik oleh alam. Mandiri, rasa percaya diri yang penuh, kuat dan mantap mengalir dalam jiwa mereka. Adrenaline yang normal seketika menjadi naik hanya untuk menjawab golongan mayoritas yang tak henti – hentinya mencibir mereka. Dan begitu segalanya terjadi, tak ada lagi yang bisa berkata bahwa mereka adalah pembual !!!!!

Peduli pada alam membuat siapapun akan lebih peduli pada saudaranya, tetangganya, bahkan musuhnya sendiri. Menghargai dan meyakini kebesaran Tuhan, menyayangi sesama dan percaya pada diri sendiri, itulah kunci yang dimiliki oleh orang – orang yang kerap disebut petualang ini. Mendaki gunung bukan berarti menaklukan alam, tapi lebih utama adalah menaklukan diri sendiri dari keegoisan pribadi. Mendaki gunung adalah kebersamaan, persaudaraan, dan saling ketergantungan antar sesama.

Dan menjadi salah satu dari mereka bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi pandangan masyarakat yang berpikiran negative terhadap dampak dari kegiatan ini. Apalagi mereka sudah menyinggung soal kematian yang memang tampaknya lebih dekat pada orang – orang yang terjun di alam bebas ini. “Mati muda yang sia – sia.” Begitu komentar mereka saat mendengar atau membaca anak muda yang tewas di gunung. Padahal soal hidup dan mati, di gunung hanyalah satu dari sekian alternative dari suratan takdir.
Tidak di gunung pun, kalau mau mati ya matilah…!!!

Kalau selamanya kita harus takut pada kematian, mungkin kita tidak akan mengenal Columbus penemu Benua Amerika.

Di gunung, di ketinggian kaki berpijak, di sanalah tempat yang paling damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan keyakinan diri yang kuat. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian diri dari suatu pribadi yang egois dan manja, menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan diri sendiri.

Rasa takut, cemas, gusar, gundah, dan homesick memang ada, tapi itu dihadapkan pada kokohnya sebuah gunung yang tak mengenal apa itu rasa yang menghinggapi seorang anak manusia. Gunung itu memang curam, tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal, tapi ia ramah dengan membiarkan tubuhnya diinjak – injak. Ada banyak luka di tangan, ada kelelahan di kaki, ada rasa haus yang menggayut di kerongkongan, ada tanjakan yang seperti tak ada habis – habisnya.

Namun semuanya itu menjadi tak sepadan dan tak ada artinya sama sekali saat kaki menginjak ketinggian. Puncak gunung menjadi puncak dari segala puncak. Puncak rasa cemas, puncak kelelahan, dan puncak rasa haus, tapi kemudian semua rasa itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan.

Lukisan kehidupan pagi Sang Maha Pencipta di puncak gunung tidak bisa diucapkan oleh kata – kata. Semuanya cuma tertoreh dalam jiwa, dalam hati. Usai menikmati sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri sekaligus menumbuhkan percaya diri, rasanya sedikit mengangkat dagu masih sah – sah saja. Hanya jangan terus – terusan mengangkat dagu, karena walau bagaimanapun, gunung itu masih tetap kokoh di tempatnya.
Tetap menjadi paku bumi, bersahaja, dan gagah. Sementara manusia akkembali ke urat akar di mana dia hidup.

Ya, menghargai hidup adalah salah satu hasil yang diperoleh dalam mendaki gunung. Betapa hidup itu mahal. Betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai pilihan, di mana kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi terdesak.

Satu kali mendaki, satu kali pula kita menghargai hidup. Dua kali mendaki, dua kali kita mampu menghargai hidup. Tiga kali, empat kali, ratusan bahkan ribuan kali kita mendaki, maka sejumlah itu pula kita menghargai hidup.

Hanya seorang yang bergelut dengan alamlah yang mengerti dan paham, bagaimana rasanya mengendalikan diri dalam ketertekanan mental dan fisik, juga bagaimana alam berubah menjadi seorang bunda yang tidak henti – hentinya memberikan rasa kasih sayangnya. Kalau golongan mayoritas masih terus saja berpendapat minor soal kegiatan mereka, maka biarkan sajalah.

Karena siapapun orangnya yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya mengantarkan nyawa saja, bahwa kegiatan ini hanya sia – sia belaka, tidak ada yang menaifkan hal ini.

Mereka cuma tak paham bahwa ada satu cara di mana mereka tidak bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh para petualang ini, yaitu kemenangan saat kaki tiba pada ketinggian.